Berinteraksi dengan Orang-Orang yang Malang

Kehidupan di pasar cukup rumit. Selain ada pedagang dan pembeli, pasar juga dipenuhi dengan orang-orang yang malang seperti pengemis, pengamen, gelandangan, dan pemulung.

Dilihat dari sisi hukum, sebenarnya orang-orang bernasib malang tersebut telah melanggar KUHP pasal 504 dan pasal 505, Buku ke-3 tentang tindak pidana pelanggaran.

Pasal 504 KUHP berbunyi :

  1. Barang siapa yang mengemis di muka umum,diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu.
  2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.


Pasal 505 KUHP berbunyi
:

  1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.
  2. Pergelandangan yang dilakukan tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun,diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.

Jadi, sangat jelas mereka melakukan tindakan pidana. Biasanya akan diadakan razia, kemudian mereka diberi penyuluhan dan pelatihan ketrampilan tertentu agar nantinya bisa hidup normal saat kembali ke masyarakat.

Namun pelakunya tidak mengenal hukum. Mereka sudah terlalu asyik menikmati hasil mengemis. Bahkan pemberitaan beberapa media sempat heboh karena ada beberapa pengemis yang penghasilannya luar biasa dibanding karyawan kantoran.

Aksi mengemis dan mengelandang pun semakin marak di kota-kota besar. Beberapa kota besar pun membuat Perda yang melarang untuk memberi pengemis dan gelandangan. Tujuannya agar mereka tidak lagi mengemis dan mengelandang jika tidak ada orang yang memberi uang atau materi tertentu.

Di mojokerto sendiri terdapat Perda Nomor 16 tahun 2013:

Setiap anak jalanan, pengemis, pengamen,, dan gelandangan dilarang beroperasi di jalan umum seperti perempatan lampu merah. Pengendara juga dilarang memberikan sesuatu baik uang recehan maupun sesuatu yang lain”.

Karena aturan Perda mojokerto hanya tertulis “di jalan umum” bukan “di tempat umum” sehingga saya mengartikan bahwa diperbolehkan memberi bagi mereka yang bernasib malang di area pasar. Berikut adalah pengalaman-pengalaman saya berinteraksi dengan orang-orang yang saya anggap bernasib malang tersebut :

1. Pengemis Tua

Pengemis tua di pasar
Sumber gambar : Flickr.com

Pengemis tua ini biasa muncul di siang hari, antara pukul 12 sampai 1 siang. Dalam seminggu bisa 5 kali datang ke lapak buah saya. Biasanya saya memberi uang Rp 2.000,- saja.

Usianya mungkin sekitar 60 atau 70 tahunan. Kakinya pincang sebelah. Menurut pengakuannya, ia berasal dari kutorejo, sekitar 5 KM dari pasar legi Mojosari.

Alasan saya memberinya uang karena saya ketakutan. Saya membayangkan bagaimana di usia setua itu, dengan keadaan cacat, ia harus memenuhi kehidupan sehari-hari. Ketakutan saya muncul ketika saya membayangkan kehidupan saya di masa tua nanti.

Seandainya keadaan tersebut menimpa saya dan tidak ada yang bisa saya kerjakan, mungkin saya pun akan berakhir dengan nasib yang sama, mengemis untuk mempertahankan hidup.

Walaupun sudah banyak media yang mengatakan bahwa penghasilan pengemis sangat luar biasa banyak, tapi tetap saja saya merasa takut. Pikiran positif yang sederhana saja :

Rejeki orang siapa yang tahu. Pengemis saja bisa mendapatkan banyak uang jika berusaha keras, bagaimana dengan orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh, pasti akan lebih banyak lagi uang yang bisa dihasilkan.

2. Pemulung Tua

Pak tua yang satu ini membawa sepeda zaman dulu. Ia memenuhi sepedanya dengan barang-barang ronsokan yang ia temukan di pasar. Entahlah apakah akan dijual atau diolah sendiri, saya tidak tahu. Saya pun juga tidak pernah merasa kasihan.

Tapi bapak saya biasanya memberi pak tua itu uang Rp 2.000,-. Dan saya pun mengikuti bapak saya. Jika pak tua itu lewat, maka saya juga memberi uang Rp 2.000,-.

Ia biasa menuntun sepeda tua-nya. Sepedanya sudah rusak parah. Kedua bannya sudah kempes. Tapi sepertinya pak tua itu hanya butuh sesuatu untuk mengotong barang temuannya. Dan sepeda itu masih bisa digunakan untuk hal semacam itu meskipun untuk melakukannya harus menuntunnya.

Kadang saya suka berpikir sendiri. Dengan keadaannya yang menyedihkan itu, ia tidak mengemis dan lebih memilih mencari barang-barang sisa. Tentu ia punya harga diri yang tinggi. Karena seandainya ia mengemis, pasti akan banyak yang memberinya uang karena kondisinya yang cukup memprihatinkan.

Takutnya pemberian saya sebesar Rp 2.000,- itu akan melukai harga dirinya. Ia mungkin menerima uang tersebut hanya untuk menghargai saya yang berniat baik. Dan itu membuat saya mengkhawatirkan keadaan mentalnya.

Mungkin akan lebih baik jika saya memberinya uang sedikit lebih besar agar ia tahu bahwa saya tidak sedang meremehkannya dan benar-benar berniat berbagi. Mungkin Rp 5.000 cukup. Sayangnya, pak tua itu sekarang jarang lewat di depan lapak buah saya.

3. Pengemis-Pengemis Kecil

Pengemis_Pengemis kecil di jalanan
Sumber gambar : kompasiana.com

Di area pasar biasanya mereka bergerombol. Usianya antara 5 – 10 tahunan. Saya tidak merasa kasihan kepada mereka, anak-anak kecil tidak mungkin banyak berpikir tentang hidup seperti halnya orang dewasa yang memiliki banyak keinginan. Anak-Anak kecil ini hanya diajari untuk meminta-minta dan menganggapnya sebagai suatu permainan.

Ada juga sebagian orang berpendapat untuk tidak memberi mereka uang atau makanan. Alasannya, mereka nanti jadi terbiasa dan malas bekerja. Tapi pikiran saya tidak sepicik itu dan tetap memberi sesuatu untuk mereka.

Kadang mereka minta uang. Pernah juga meminta buah-buahan. Dan saya selalu memberi mereka. Insting saya mengatakan bahwa sebagian dari mereka akan sukses di masa depan. Oleh karena itu, saya mengajari mereka tentang berbagi. Suatu saat, ketika mereka sudah sukses, saya ingin mereka mengingat bagaimana orang lain berbaik hati memberi mereka sesuatu ketika kecil sehingga mereka pun mau menyisihkan uangnya untuk berbagi kepada sesama yang membutuhkan.

Sederhana, bukan? (Klik di sini untuk membaca kisah lain tentang pengemis kecil).

4. Orang China Penderita Skizofrenia

Gambar penderita skizofrenia
Sumber gambar : liputan6.com

Tubuhnya tinggi dan kurus untuk ukuran orang China. Biasa menggunakan sepeda tua berwarna merah. Kata bapak saya, ia adalah orang gila (penderita skizofrenia seperti saya). Dan mungkin masyarakat juga menganggapnya demikian.

Tentu itu stigma yang salah. Penderita skizofrenia bukan orang gila.  Mereka bisa pulih seperti sedia kala jika rutin minum obat. Sayangnya, dari cerita yang saya dengar, orang tersebut sepertinya tidak sedang menjalani perawatan. Mungkin keluarganya sudah menyerah menghadapi perilakunya yang aneh-aneh atau ia tidak lagi memiliki keluarga.

Pernah juga suatu malam ketika saya membeli rokok pada sekitar pukul 12 malam, saya menemukan orang ini mengais tempat-tempat sampah. Tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Sebagai sesama penderita skizofrenia, saya cukup prihatin dengan keadaannya.

Suatu ketika ia minta uang Rp 10.000,-. Katanya ia belum makan. Dan saya pun segera memberikan uang yang diminta meskipun sebenarnya hati saya agak tidak merelakan. Rp 10.000,- itu separuh uang jajan saya dalam sehari. Untungnya ia tidak terlalu sering datang.

Biasanya orang ini datang setiap satu bulan sekali. Dan entahlah, saya hanya kasihan karena tidak ada yang merawatnya. Karena saya tahu bagaimana rasanya sakit skizofrenia. Bahkan sampai sekarang pun saya tidak bisa melakukan banyak hal yang bisa dilakukan orang-orang normal karena perasaan yang sering berubah-ubah tanpa sebab.

5. Gelandangan yang Gagah

Awal mula bertemu dengan gelandang ini adalah ketika ia meminta sebatang rokok kepada saya. Kebetulan saat itu saya memiliki sebungkus rokok yang tergeletak. Saya kira ia adalah kuli karena saya pernah memberi kuli-kuli di sekitar pasar dengan rokok. Ternyata ia bukan kuli, hanya seorang gelandangan.

Ia biasa tidur di depan toko emas di pojok pasar. Membawa tas dan dua kresek yang berisi pakaian-pakaian. Tapi bagaimana pun ia berganti pakaian, semua tampak lusuh dan kotor. Seandainya saja ia memakai pakaian yang bersih dan rapi, mungkin banyak wanita yang akan menyukainya karena tubuhnya tinggi besar dan terlihat gagah.

Setiap hari ia datang untuk minta sebatang rokok. Terkadang juga uang Rp 2.000,- saja. Katanya uang tersebut untuk membeli kopi. Dan saya selalu memberinya karena memang saya punya jatah rokok yang bisa dibagikan.

Tapi sudah beberapa hari terakhir ia tidak muncul lagi. Mungkin ia sudah berpindah. Menurut saya ia juga penderita skizofrenia yang terlantar. Hanya dugaan saya, mengingat dengan tubuhnya yang seperti itu, seharusnya ia dengan mudah menemukan pekerjaan seperti kuli atau apalah dengan tenaganya yang juga sama besarnya dengan tubuhnya.

6.Pengamen

Pengamen-Pengamen jalanan dan pasar
Sumber gambar : tabloidbintang.com

Orang yang paling tidak saya sukai adalah pengamen. Menurut saya mereka salah sasaran karena mengamen di tengah pasar. Seharusnya pengamen itu berada di terminal atau stasiun-stasiun untuk menghibur orang-orang yang suntuk dalam perjalanan jauh.

Selain karena mereka mengamen asal-asalan, suaranya tidak merdu dan permainan alat musiknya jelek, jumlah mereka cukup banyak. Saya biasa memberi Rp500,- saja. Lagipula mereka hanya bernyanyi dan bermain musik tidak lebih dari 20 detik sebelum para pedagang memberi mereka uang receh. Pokoknya tidak totalitas dalam menjalankan pekerjaan. Dan itu yang tidak saya sukai.

Jika mereka ingin menghasilkan lebih banyak uang, seharusnya mereka mulai berlatih menyanyi dan memainkan alat musik dengan benar agar para pedagang menikmati kehadiaran mereka. Bukan asal-asalan.

Ada pula ibu-ibu yang mengamen dengan membawa suaminya yang sakit (terlihat cacat). Membawa alat musik kayu yang diisi dengan tutup botol (semacam tamborin). Ini juga kurang baik sebenarnya. Mungkin ia lebih banyak menghasilkan uang jika membawa suaminya yang sakit karena orang-orang menaruh belas kasihan. Tapi entahlah, saya tidak tahu motifnya.

Saya hanya memberinya uang Rp2.000,- saja. Tapi tidak etis menurut saya mengamen untuk mendapatkan belas kasihan. Pengamen itu harus punya sifat seniman. Sama seperti pekerjaan lainnya, harus banyak berlatih untuk mendapatkan respek orang lain.

7. Anak-Anak Jalanan


Sumber gambar : batamnews.com

Usia mereka sudah lebih dari 12 tahun. Sudah cukup dewasa untuk mencari pekerjaan. Tapi entah mengapa mereka tetap menjadi anak-anak jalanan.

Mereka biasanya banyak muncul jika di daerah saya ada pertunjukan wayang kulit. Atau konser musik. Atau pertandingan sepak bola. Jumlah mereka banyak dan pakaian mereka buruk. Dan saya merasa takut dengan anak-anak jalanan ini karena mereka terbiasa melakukan tindak kriminalitas.

Pernah juga saya dengar mereka secara beramai-ramai mengambil dagangan orang. Itu menakutkan. Bagaimana jika hal semacam itu terjadi kepada saya? Saya tidak bisa membayangkannya. Untungnya hal semacam itu tidak pernah terjadi.

Biasanya sih mereka minta jeruk atau salak. Dan saya mengijinkannya. Yang paling berkesan adalah kenyataan bahwa mereka punya ikatan yang kuat dengan anak jalanan lainnya. Pernah saya lihat seorang anak jalanan minta singkong keju kepada pedagang di depan lapak buah saya. Kemudian saya lihat sepotong kecil singkong keju tersebut dibagikan kepada teman-temannya. Saya jadi terharu sendiri dan iri karena saya termasuk orang yang tidak punya teman dan ingin memiliki teman yang semacam itu.

Sejak saat itu setiap kali anak-anak jalanan tersebut minta buah, saya memberi mereka masing-masing satu (selama bukan rombongan besar) agar mereka tidak perlu berbagi dengan teman lainnya dan merasakan sedikit kesenangan dalam hidup mereka yang keras.

8. Orang-Orang Bermotif Shodaqoh

Di pasar juga sering saya jumpai orang-orang yang minta uang mengatasnamakan suatu instansi keagamaan. Kemudian kita disuruh tanda tangan. Tapi respek saya terhadap orang jenis ini tidak ada sama sekali. Karena mereka berpotensi melakukan penipuan.

Suatu kali ada juga mobil yang minta-minta shodaqoh di dalam pasar. Mungkin karena sudah gregetan, ada seorang muslim dengan sarung dan kopyah lengkap menghentikan mereka. Mereka tidak menghiraukan dan ketakutan (tidak tahu cerita lengkapnya. Mungkin surat-surat yang diminta atas nama instansi tertentu tidak bisa ditunjukan). Sepertinya kedok mencari uang dengan sumbangan ini cukup marak di Mojosari.

Lagipula saya juga tidak percaya mengapa ada instansi yang jaraknya puluhan kilo meminta sumbangan di daerah lain. Bukannya seharusnya mereka minta di tempat instansi keagamaan tersebut berada.

Prasangka saya sih memang orang-orang ini ingin menarik simpati dari agama yang sama dan mengatasnamakan instansi tertentu. Padahal sebenarnya uang yang mereka dapatkan digunakan untuk keperluan mereka sendiri. Mereka lebih buruk dari pengemis. Dan saya jarang memberi mereka uang. Hanya jika mood saya sedang bagus, saya memberi mereka uang. saya hanya menganggap mereka pengemis. Dan tidak lebih dari itu.

Bagaimana dengan Anda? apakah Anda pernah berinteraksi dengan orang-orang yang bernasib malang? Bagikan di kotak komentar yang disediakan.

17 tanggapan untuk “Berinteraksi dengan Orang-Orang yang Malang

  1. Aku jarang sekali berinteraksi dengan orang malang. Aku berprinsip jika ingin membantu, lebih baik memberikan kail dan mengajarkan cara memancing ikan daripada langsung memberikan ikan.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Setuju zilko bahkan ironisnya di Jakarta orang malang jadi pekerjaan kadang bigung apa coba kerjaan Deparetmen Sosial kalau masih banyak pengemis kalau benar-benar pengemisnya benar2 susah bukan karena profesi

      Disukai oleh 1 orang

    2. Iya pernah denger yg begitu. Cuma memang ada beberapa orang yg kondisinya tidak memungkinkan bekerja seperti cacat atau kesehatan mentalnya terganggu. Jadi nggak mungkin ngajarinnya.

      Suka

  2. Kadang serba salah juga ya, kalau di kasih uang secara langsung juga engga baik juga untuk mereka karena mereka pasti akan keenakan mendapatkan uang tampa usaha. Tapi kadang keadaan juga yang memaksa mereka melakukan itu..

    Suka

    1. Ya saya juga kadanv bingung sendiri. Cuma gak papa deh ngasih. Klo mereka emang suka mendapatkan uang seperti itu ya terserah. Tapi kan mereka juga gak akan pernah merasakan nikmatnya mendapatkan uang dari kerja keras.

      Suka

  3. Gawat juga ya kalau misalkan kedelapan orang itu hadir di hari yang sama.

    Saya paling sering menemui pengemis, pengamen, dan peminta sumbangan. Semua saya kasih kecuali yang minta sumbangan.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Lha klo minta sumbangan mengatasnamakan instansi tertentu sudah masuk ke penipuan mas. Itu yg bikin kesel karena uangnya sebenarnya digunakan buat diri sendiri.

      Disukai oleh 1 orang

  4. Membaca cara Shiq4 menuangkan pengalaman interaksinya dengan orang2 “malang” di atas, saya bisa menilai orang semacam apa dia (meski ga bnysk such dan terkesan sok tahu, he he…). Meskipun dia mengatakan bahwa dia termasuk yang minim teman (maaf, kalau salah persepsi ni), dan pernah mengidap Skizofrenia, tapi caranya berinteraksi dan menceritakan pandangannya, menunjukkan bahwa Shiq4 (menurut Desfortin, bukan saya) adalah orang yang bijak dan cerdas, cukup mampu mengelola mood-nya dengan baik, khususnya terhadap orang2 semacam itu. Salut banget dech.

    Kalau saya, kalau ketemu orang2 demikian, sulit berbagi, khususnya terhadap pengamen yang mangkalnya (menurut saya) salah. Saya kalau pas di Palangka Raya, sering ketemu pengamen di kompleks warung makan dekat bundaran besar, tapi entah mengapa saya kurang respek banget, mungkin karena suaranya juga buruk kali ya. Tapi kalau pas ketemu di bus saat bus berhenti, saya mungkin mempertimbangkan untuk memberi, tp kalau performance-nya gak sembrono juga sich (kacau ni pake syarat terus).

    Sebenarnya, saya sedikit ironis, orang2 malang seperti pengemis, pemulung, anak jalanan, pengamen dan gelandangan, apakah mereka termasuk fakir miskin dan terlantar? Kalau benar, bukankah undang2 (Pasal 34 ayat 1) mengamanatkan bahwa mereka harus dipelihara oleh negara? Di Palangka Raya, seingat saya juga ada penertiban para pengemis oleh Dinsos setempat, karena mereka justru berpenghasilan “gede” dari aksinya tsb dan tentu mengganggu ketertiban umum. Sebentar tertib, tapi anehnya, mereka masih saja ada dan sulit ditertibkan. Saya justru bingung apa arti undang2 tsb.

    Suka

    1. Sebenarnya yg dimaksud memelihara fakir miskin itu dimasukan ke panti sosial. Pengemis, pengamen, pemulung dan lain2 yg terkena razia dimasukan ke panti. Nanti diajari skill tertentu seperti menjahit dan lain sebagiannya.

      Sayangnya mayoritas sudah nyaman dengan prilakunya yg minta-minta sehingga enggan untuk bekerja.

      Itu dibiasakan mas desfortin. Dulu saya kadang2 tersingung pas ngasih sesuatu dan mereka gak berterima kasih. Atau pas minta nada suaranya tinggi. Tapi akhirnya saya memakli lha wong mereka mungkin nggak pernah mengenyam bangku pendidikan di sekolah.

      Disukai oleh 1 orang

  5. Kalau di daerahku sering kali ada orang meminta sumbangan atas nama panti asuhan yang berada di kota provinsi, bahkan dari provinsi lain. Banyak orang mengatakan itu hanya penipuan, tetapi kalau sdh masuk ke rumah dengan pakaian lusuh dan berpeluh-peluh tidak tega dan tidak enak hati juga kalau tidak memberinya sama sekali. Akhirnya memberi juga sekedar untuk beli minum dengan hati yang kadang kurang iklhas he..he..

    Suka

    1. Ya ntahlaj mbak. Saya cuma menghargai usaha mereka saja. Kadang klo sedang berpikir positif saya ngasih aja. Yg penting saya sudah niat berbuat baik saja. Perkara apakah uanh tersebut akan digunakan sebagaimana mestinya bukan lagi tanggung jawab saya.

      Disukai oleh 1 orang

  6. Memang banyak sekali macam-macam modus orang untuk mengumpulkan uang dari jalanan dan dari belas kasihan orang, yang paling saya apresiasi tentu bapak-bapak yang mulung itu, tidak meminta-minta, asal bapaknya bener-bener mulung, tidak nyomot sana-sini.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Nggak kok mas. Itu ngambil kardus2 bekas, botol2, dan sisa sayur. Kadang saya juga gak ngerti dengan bapaknya. Takutnya ia tersinggung dengan pemberian saya.

      Disukai oleh 1 orang

Komentar ditutup.