Tag: Masa Kecil

Topeng-Topeng di Pasar Malam

Topeng di pasar malamSumber gambar: redaksiindonesia.com

Kejadiannya lebih dari 20 tahun lalu. Usiaku mungkin baru 5 atau 6 tahun ketika aku menangis sekencang-kencangnya meminta sebuah topeng di pasar malam kepada ibuku.

Di masa itu, setiap ada perayaan atas kelahiran Nabi Muhammad, umat islam merayakannya dengan pasar malam dadakan. Di jalan niaga no.5 Mojosari, di sepanjang jalan itu, ada pedagang-pedagang yang meramaikan pasar malam. Perayaan itu terjadi hanya semalam setiap tahun.

Lanjutkan membaca “Topeng-Topeng di Pasar Malam”

FF : Jawaban Satunya Apa?

Udin sudah hampir selesai mengerjakan soal-soal ulangan IPS. Hanya masih ada satu soal yang belum ia kerjakan.

Pertanyaanya adalah sebutkan dua tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia?

Udin bingung. Ia baru mengisi satu nama, kebenaran jawabannya pun ia ragukan. Satu nama yang ia kantongi, hasil mengerahkan segala daya pikirnya adalah Soekarno Hatta.

Lanjutkan membaca “FF : Jawaban Satunya Apa?”

Kesedihan Hujan

banner giveaway cerita hujan

Hujan selalu identik dengan kesedihan. Penulis dan penyair selalu mengaitkan hujan sebagai suasana duka atau perasaan sedih dalam setiap kisah dan puisi. Pada kenyataannya memang benar demikian adanya, berikut adalah kisah saya:

Sebagai anak yang tumbuh di desa, saya tumbuh dan bahagia ditemani hujan. Bagi kami, anak-anak kampung, hujan merupakan waktu yang tepat untuk bermain. Secara ajaib hujan mampu memberi kesenangan dan kebahagian tersendiri bagi kami pada saat kecil.

Kami biasa bermain kejar-kejaran, bermain kapal-kapalan dari kertas di saluran air, berlari secara berkelompok mengelilingi desa, atau mencari buah mangga dari satu kebun ke kebun lainnya di desa kami karena biasanya banyak buah mangga matang yang jatuh ketika hujan. Dan masih banyak lagi lainnya. Intinya, anak-anak desa selalu menanti kedatangan hujan.

Tapi bermain ketika hujan bukan tanpa risiko. Terkadang orang tua kami marah-marah sampai memukul pantat kami. Dan itu berlaku bagi mayoritas anak dan dilakukan orang tua kami di depan anak lainnya. Sebagai anak-anak, kami pasti mengolok-olok anak yang dipukul pantatnya oleh orang tua masing-masing keesokan harinya. Itu kenangan yang lucu.

Belum lagi risiko gatal-gatal. Hampir di semua tempat di desa kami banyak ditumbuhi pepohonan. Tentu banyak ulatnya. Jadi, sudah hal wajar bagi kami jika setelah bermain hujan akan menderita gatal-gatal. Tapi entah mengapa semua anak selalu menanti hujan. Hujan membuat kami bahagia.

Seiring berjalannya waktu, saya pun tumbuh dewasa. Begitu pula anak-anak lainnya. Secara mengejutkan kami mulai tidak menyukai hujan. Hujan bisa membuat demam, karena hujan jemuran tidak kering, hujan membuat terlambat kerja, bahkan hujan menjadi penyebab menurunnya penjualan bagi sebagian pedagang. Begitulah nalar orang dewasa.

Bayangkan bagaimana seandainya hujan memiliki perasaan? Ia yang dulu selalu membawa kebahagian bagi manusia ketika masih kecil, pada akhirnya dibenci ketika mereka sudah dewasa. Ironis. Tapi begitulah nasib hujan. Manusia memang picik dan selalu ingin mengambil bagian enaknya saja. Ketika manusia merasakan sedikit masalah karena hujan, mereka sudah lupa tentang kenangan bahagia bersama hujan.

Itulah mengapa hujan selalu dan sangat cocok mengambarkan kesedihan. Karena nasib hujan memang menyedihkan. Setidaknya begitulah dari kacamata saya. Apakah Anda sudah bijaksana memperlakukan hujan? Atau Anda juga tidak menyukainya? Akan sangat menyenangkan membaca pemikiran Anda di kotak komentar.