​Lea dan Kucing (2)

Lea dan kucingSumber gambar : Devianart

Episode satu : Klik di Sini

Ciuman dari pacar pertamaku membuatku tidak bisa tidur. Bahkan bisa membuatku terangsang hanya dengan memikirkannya. Baru di hari ketiga ingatan tersebut perlahan hilang. Hanya saja aku ingin mendapatkannya lagi.

Dalam tiga hari, kucing di rumahku sudah menghabiskan makanan dari toko. Walaupun hanya sedikit sih. Itu cukup membuatku senang. Juga optimis bahwa kucing ini akan beradaptasi dengan makanan dari toko.

Satu-Satunya yang membuatku berpikir, selain ciuman pertama, adalah tingkah laku Lea. Tiga hari berturut-turut ia selalu datang ke rumah sambil membawa ikan pindang. Katanya untuk si kucing dan aku sedikit merasa iri dengan perhatian Lea terhadap kucingku.

Lea datang begitu saja, menyerahkan ikan pindang, dan pamit pulang. Lea memang agak sedikit tulalit, mengapa ia tidak langsung saja membeli beberapa bungkus ikan dan langsung membawanya, bukan membeli sedikit demi sedikit dan setiap hari datang. Aku jengkel sendiri melihatnya.

Kurasa Lea bangun tidur pagi sekali dan pergi ke pasar. Karena mustahil ia mendapatkan ikan tanpa melakukan hal itu.

Bagian yang tak kalah buruk, beberapa kali ia meninggalkan pesan di Whats app dan bertanya tentang kucing. Aku juga ingin diperhatikan. Tapi aku terlalu malu untuk bertanya atau pura-pura marah. Lagipula aku ingin mengambulkan permintaan Lea untuk merawat kucing yang entah darimana berasal. Dan kurasa Lea punya tempat membagi cinta selain kepadaku. Tentu cinta dalam hal yang berbeda sama sekali. 

Hari ini aku mengajak Lea bertemu. Dan sudah kuputuskan untuk mengatakan agar Lea tidak terlalu perhatian kepada kucing dan melupakanku.

***********

Tempat favorit kami adalah warung sederhana di dekat kampus. Karena warungnya sepi. Jadi, kami bisa bercakap-cakap tanpa harus khawatir di dengar orang. Dan sudah perjanjian bahwa warung ini merupakan markas kami di siang hari ketika beristirahat siang sebelum jam kuliah lainnya.

Setelah menaruh motorku di parkiran kampus, karena kuliah kami masih 90 menit lagi, aku berjalan kaki menuju markas. Dan di sana kulihat hanya ada Lea dari kejauhan. Sepertinya ia sedang sibuk dengan smartphonenya.

Sebelum aku benar-benar sampai, pandangan Lea berubah dari menunduk dan melihat ke arahku. Dan ia tersenyum. Aku pun membalas senyumannya.

Ketika baru sampai, aku memesan secangkir kopi terlebih dahulu, baru mengambil posisi duduk yang berhadapan dengan Lea. “Sudah lama menunggu ya….?” Kataku santai.

Lea memasukkan smartphone di kantong bajunya. Dan lagi-lagi tersenyum,”Baru sampai juga kok”

Aku diam sejenak dan mencari kata yang pas untuk mengutarakan kegelisahanku. Namun sebelum aku sempat mengatakan sesuatu, Lea lebih cepat dariku,”Kurasa kita harus memberi nama kucing itu. Bagaimana menurutmu?”

Baiklah… mungkin aku akan ngobrol dulu sebentar, pikirku.

“Nama ya… dikasih nama apa yang cocok menurutmu?”

“Kurasa nama Jane atau Libby lumayan bagus.” Lea menjawab dengan cepat. Kupikir ia pasti sudah lama memikirkannya sehingga bisa merespons dengan cepat.

“Bukannya kucingnya jantan ya?”

“Kucingnya betina kok. Aku sudah yakin itu.” Kata Lea tak kalah cepat dari sebelumnya.

Aku menghela nafas panjang. Pasti Lea punya alasan bodoh lagi ketika mempercayai suatu hal. Karena aku juga penasaran dengan ulah Lea kali ini, maka aku pun menggodanya,”Bagaimana kau bisa menyimpulkan kalau kucingnya betina?”

“Mudah saja. Karena ekornya panjang. Kalau kucingnya jantan pasti ekornya pendek.” Dan Lea tersenyum seolah telah mampu menjabarkan semua rumus fisika yang rumit.

Ya… kejadian semacam ini bukan yang pertama. Jadi alih-alih kesal atau marah, aku mengikuti bagaimana Lea berpikir. “Bukan begitu Lea. Kalau wajahnya cenderung melebar, maka itu berarti kucingnya jantan. Sedangkan kalau wajahnya memanjang, itu artinya kucing betina.” Aku berlagak tegas ketika mengatakannya.

“Wah ternyata aku salah ya? Ha ha ha…. Soalnya aku seringnya liat ekor kucing dan tidak memperhatikan wajahnya.”

Ternyata benar dugaanku. Lea selalu mengatakan hal-hal bodoh berdasarkan pemikirannya sendiri. Di saat perasaanku sedang bagus seperti ini, kelakuan Lea membuatku tersenyum dan berbahagia. Tapi di waktu yang tidak tepat, Lea selalu membuatku kesal. Tapi ia begitu lugu dan tidak banyak berpikir, ia selalu menjadi dirinya sendiri. Dan bagaimana pun keadaannya, aku tetap menyukainya.

“Sebenarnya aku juga tidak yakin sih dengan perkataanku ha ha ha….” Aku berkata jujur. Lagipula aku juga tidak tahu bagaimana melihat jenis kelamin anak kucing. Ini kucing pertamaku. Dan aku belum mempelajarinya.

Dan siang itu aku lupa tujuanku mengadakan pertemuan ini. Aku terbawa suasana dan mengikuti semua perkataan Lea. Biarpun bodoh, kurasa Lea punya bakat untuk mempengaruhi orang lain tanpa ia sadari.

Pada akhirnya, siang itu, kami tidak lagi memikirkan jenis kelamin atau nama bagi kucing yang baru saja kupelihara. Kata Lea biarkan saja, agar namanya tidak salah, maka Lea punya ide jenius. Itu adalah memanggilnya dengan sebutan “Si Kucing”.

Baiklah…. akhirnya kami sepakat menamai kucing kami “Si Kucing”. Nama yang cocok untuk semua jenis kelamin. Juga sangat eksotis. Lagipula itu nama terbaik yang bisa kupikirkan sampai aku melihat anak kucing itu dewasa. Kalau ia hamil, berarti ia betina. Sedangkan jika ia sering bertengkar, maka ia kucing jantan.

Kuharap di masa depan Lea tidak lagi mengajakku mengobrol tentang kucing. Karena jauh dalam hatiku, aku mulai merasakan bahwa si kucing merupakan pesaing potensialku untuk mendapatkan perhatian Lea.

12 tanggapan untuk “​Lea dan Kucing (2)

  1. (Lama ya lnjutnya)

    Haha…”aku” juga butuh perhatian. Sbgai laki2 jngn sampai klah oleh kucing loh..

    Keren ceritanya. Saya suka gaya Shiq4 berkisah.

    Suka

Komentar ditutup.